Musaqah merupakan kerja sama antara pemilik
kebun atau tanaman dan
pengelola atau penggarap untuk
memelihara dan merawat kebun atau tanaman dengan perjanjian bagi hasil yang
jumlahnya menurut kesepakatan bersama dan perjanjian itu disebutkan dalam aqad.
Sedangkan
muzara’ah
dan mukhabarah mempunyai pengertian yang sama, yaitu kerja sama antara
pemilik sawah atau tanah dengan penggarapnya, namun yang dipersoalkan di sini
hanya mengenai bibit pertanian itu.
Mukhabarah bibitnya berasal dari
pemilik lahan, sedangkan muzara’ah bibitnya dari petani. Aqad musaqah,
muzara’ah, dan mukhabarah telah disebutkan di dalam hadits yang menyatakan
bahwa aqad tersebut diperbolehkan asalkan dengan kesepakatan bersama antara
kedua belah pihak dengan perjanjian bagi hasil sebanyak separo dari hasil
tanaman atau buahnya.
Dalam
kaitannya hukum tersebut, Jumhurul Ulama’ membolehkan aqad
musaqah, muzara’ah, dan mukhabarah, karena selain berdasarkan praktek nabi dan
juga praktek sahabat nabi yang biasa melakukan aqad bagi hasil tanaman, juga
karena aqad ini menguntungkan kedua belah pihak. Menguntungkan karena bagi
pemilik tanah/tanaman terkadang tidak mempunyai waktu dalam mengolah tanah atau
menanam tanaman.
Sedangkan
orang yang mempunyai keahlian dalam hal mengolah tanah terkadang tidak punya
modal berupa uang atau tanah, maka dengan aqad bagi hasil tersebut
menguntungkan kedua belah pihak, dan tidak ada yang dirugikan.
Adapun persamaan dan perbedaan antara
musaqah, muzara’ah, dan mukhabarah yaitu, persamaannya adalah ketiga-tiganya
merupakan aqad (perjanjian), sedangkan perbedaannya adalah di dalam musaqah,
tanaman sudah ada, tetapi memerlukan tenaga kerja yang memeliharanya. Di dalam
muzara’ah, tanaman di tanah belum ada, tanahnya masih harus digarap dulu oleh
pengggarapnya, namun benihnya dari petani (orang yang menggarap). Sedangakan di
dalam mukhabarah, tanaman di tanah belum ada, tanahnya masih harus digarap dulu
oleh pengggarapnya, namun benihnya dari pemilik tanah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar